Bagi hamba yang masih memiliki
tabi’at baik pasti mengetahui bahwa Allah selalu menginginkan kemudahan dan
bukan menginginkan kesulitan bagi hamba-Nya. Dalam perihal puasa, Allah Ta’ala
juga menginginkan demikian dan ingin menghilangkan kesulitan dari hamba-Nya.
Berikut ini adalah beberapa hal yang dibolehkan oleh syari’at ini dan tidak
membatalkan puasa :
1.
Mendapati waktu fajar dalam keadaan junub.
Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu
‘anhuma, mereka berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله
عليه وسلم – كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ، ثُمَّ
يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
“
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena
bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi
dan tetap berpuasa.”
[1]
Istri tercinta Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ
حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ.
“
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan
junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mandi dan tetap berpuasa.”
[2]
2.
Bersiwak ketika berpuasa.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى
أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ
“
Seandainya tidak memberatkan
umatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk menyikat gigi (bersiwak) setiap
kali berwudhu.”
[3]
Imam Al Bukhari membawakan hadits
di atas (tanpa sanad) dalam judul Bab “Siwak basah dan kering bagi orang yang
berpuasa”. Judul bab ini mengisyaratkan bahwa Imam Al Bukhari ingin menyanggah
sebagian ulama (seperti ulama Malikiyah dan Asy Sya’bi) yang memakruhkan untuk
bersiwak ketika berpuasa dengan siwak basah.
[4]
Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Adapun siwak (ketika berpuasa) maka itu dibolehkan tanpa ada perselisihan di
antara para ulama. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat tentang
makruhnya hal itu jika dilakukan setelah waktu zawal (matahari tergelincir ke
barat). Ada dua
pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dalam masalah ini. Namun yang tepat,
tidak ada dalil syari’i yang mengkhususkan bahwa hal tersebut dimakruhkan.
Padahal terdapat dalil-dalil umum yang membolehkan untuk bersiwak.”
[5]
Penulis Tuhfatul Ahwadzi
mengatakan, “Hadits-hadits yang semakna dengan di atas yang membicarakan
keutamaan bersiwak adalah hadits mutlak yang menunjukkan bahwa siwak dibolehkan
setiap saat. Inilah pendapat yang lebih tepat.”
[6]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin mengatakan, “Yang benar adalah siwak dianjurkan bagi orang yang
berpuasa mulai dari awal hingga akhir siang.”
[7]
Dalil yang menunjukkan mengenai
keutamaan siwak adalah hadits ‘Aisyah. Dari ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ
مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“
Bersiwak itu akan membuat
mulut bersih dan diridhoi oleh Allah.”
[8]
Adapun menggunakan pasta gigi
ketika puasa
lebih baik tidak digunakan ketika berpuasa karena pasta
gigi memiliki pengaruh sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh
dan kadang seseorang tidak merasakannya. Waktu untuk menyikat gigi sebenarnya
masih lapang. Jika seseorang mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga waktu
berbuka, maka dia berarti telah menjaga diri dari perkara yang dapat merusak
puasanya.
[9]
3.
Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
وَبَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ
إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمً
“
Bersungguh-sungguhlah dalam
beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) kecuali jika engkau berpuasa.”
[10]
Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Adapun berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung)
dibolehkan bagi orang yang berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat juga berkumur-kumur dan beristinsyaq ketika
berpuasa. … Akan tetapi, dilarang untuk berlebih-lebihan ketika itu.”
[11]
Juga tidak mengapa jika orang
yang berpuasa berkumur-kumur meski tidak karena wudhu dan mandi.
[12]
Jika masih ada sesuatu yang basah
–yang tersisa sesudah berkumur-kumur- di dalam mulut lalu tertelan tanpa
sengaja, seperti itu tidak membatalkan puasa karena sulit dihindari.
Ibnu Hajar
rahimahullah mengatakan,
“Jika dikhawatirkan sehabis bersiwak terdapat sesuatu yang basah di dalam mulut
(seperti sesudah berkumur-kumur dan masih tersisa sesuatu yang basah di dalam
mulut), maka itu tidak membatalkan puasa walaupun sesuatu yang basah tadi ikut
tertelan.”
[13]
4.
Bercumbu dan mencium istri selama aman dari keluarnya mani.
Orang yang berpuasa dibolehkan
bercumbu dengan istrinya selama tidak di kemaluan dan selama terhindar dari
terjerumus pada hal yang terlarang. Puasanya tidak batal selama tidak keluar
mani.
[14]
An Nawawi
rahimahullah mengatakan,
“Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa bercumbu atau mencium istri
tidak membatalkan puasa selama tidak keluar mani”.
[15]
Dalil-dalil berikut menunjukkan
bolehnya bercumbu dengan istri ketika berpuasa sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه
وسلم – يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ ، وَهُوَ صَائِمٌ ، وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لإِرْبِهِ
.
“
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa mencium dan mencumbu istrinya sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam keadaan berpuasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan
syahwatnya.”
[16]
Dari Jabir bin ‘Abdillah, dari
‘Umar Bin Al Khaththab, beliau berkata,
هَشَشْتُ يَوْما فَقَبَّلْتُ
وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ صَنَعْتُ
الْيَوْمَ أَمْراً عَظِيماً قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- « أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ ».
قُلْتُ لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
فَفِيمَ »
“Pada suatu hari aku rindu dan
hasratku muncul kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka
aku datang kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata, “
Hari
ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal
sedang berpuasa” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
“
Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Aku
menjawab, “
Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “
Lalu apa masalahnya?“
[17]
Masyruq pernah bertanya pada
‘Aisyah,
مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ
اِمْرَأَته صَائِمًا ؟ قَالَتْ كُلُّ شَيْء إِلَّا الْجِمَاعَ
“Apa yang dibolehkan bagi
seseorang terhadap istrinya ketika puasa? ‘Aisyah menjawab, ‘Segala sesuatu
selain jima’ (bersetubuh)’.
5.
Bekam dan donor darah jika tidak membuat lemas.
Dalil-dalil berikut menunjukkan
dibolehkannya bekam bagi orang yang berpuasa.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله
عنهما – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – احْتَجَمَ ، وَهْوَ مُحْرِمٌ
وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ .
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam
dalam keadaan berihrom dan berpuasa. (HR. Bukhari no. 1938)
يُسْأَلُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ –
رضى الله عنه – أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ .
إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang
berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.”
(HR. Bukhari no. 1940)
Menurut jumhur (mayoritas ulama)
yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, berbekam tidaklah membatalkan
puasa. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas,
Anas bin Malik, Abu Sa’id Al Khudri dan sebagian ulama salaf.
Imam Asy Syafi’i dalam
Al Umm
mengatakan, “Jika seseorang meninggalkan bekam ketika puasa dalam rangka
kehati-hatian, maka itu lebih aku sukai. Namun jika ia tetap melakukan bekam,
aku tidak menganggap puasanya batal.”
[1]
Di antara alasan bahwa bekam
tidaklah membatalkan puasa:
Alasan pertama: Boleh jadi
hadits yang menjelaskan batalnya orang yang melakukan bekam dan di bekam adalah
hadits yang telah di mansukh (dihapus) dengan hadits lain yang
diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri berikut:
رَخَّصَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه
وسلم- فِى الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ وَالْحِجَامَةِ
“
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk mencium
istrinya dan berbekam.”
[2]
Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits
yang menyatakan bahwa batalnya puasa orang yang melakukan bekam dan orang yang
dibekam adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sama sekali-. Akan
tetapi, kami menemukan sebuah hadits dari Abu Sa’id: “
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk
berbekam“. Sanad hadits ini shohih. Maka wajib bagi kita untuk menerimanya.
Yang namanya
rukhsoh (keringanan) pasti ada setelah adanya
‘azimah (pelarangan)
sebelumnya. Hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa
dengan berbekam (baik orang yang melakukan bekam atau orang yang dibekam)
adalah hadits yang telah di
naskh (dihapus).”
[3]
Setelah membawakan pernyataan
Ibnu Hazm di atas, Syaikh Al Albani mengatakan, “Hadits semacam ini dari
berbagai jalur adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sedikitpun-.
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa
karena bekam adalah hadits yang telah dihapus (dinaskh). Oleh karena itu, wajib
bagi kita mengambil pendapat ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm
rahimahullah
di atas.”
[4]
Alasan kedua: Pelarangan
berbekam ketika puasa yang dimaksudkan dalam hadits adalah bukan pengharaman.
Maka hadits: “Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal puasanya”
adalah kalimat majas. Jadi maksud hadits tersebut adalah bahwa orang yang
membekam dan dibekam bisa terjerumus dalam perkara yang bisa membatalkan puasa.
Yang menguatkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin
Abi Layla dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحِجَامَةِ وَالْمُوَاصَلَةِ وَلَمْ يُحَرِّمْهُمَا
إِبْقَاءً عَلَى أَصْحَابِهِ
“
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang berbekam dan puasa wishol -namun tidak sampai
mengharamkan-, ini masih berlaku bagi sahabatnya.”[5]
Jika kita melihat dalam hadits
Anas yang telah disebutkan, terlihat jelas bahwa bekam itu terlarang ketika
akan membuat lemah. Anas ditanya,
أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ
الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
“Apakah kalian tidak menyukai
berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas menjawab, “Tidak, kecuali jika
bisa menyebabkan lemah.”
Dengan dua alasan di atas, maka
pendapat mayoritas ulama kami nilai lebih kuat yaitu bekam tidaklah membatalkan
puasa. Akan tetapi, bekam dimakruhkan bagi orang yang bisa jadi lemas.
Termasuk
dalam pembahasan bekam ini adalah hukum donor darah karena keduanya sama-sama
mengeluarkan darah sehingga hukumnya pun disamakan.
[6]
6.
Mencicipi makanan selama tidak masuk dalam kerongkongan
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, ia mengatakan,
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الخَلَّ
أَوْ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“
Tidak mengapa seseorang yang
sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke
kerongkongan.”
[7]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Mencicipi makanan dimakruhkan jika tidak ada hajat, namun tidak
membatalkan puasa. Sedangkan jika ada hajat, maka dibolehkan sebagaimana
berkumur-kumur ketika berpuasa.”
[8]
Yang termasuk dalam mencicipi
adalah adalah mengunyah makanan untuk suatu kebutuhan seperti membantu
mengunyah makanan untuk si kecil.
‘Abdur Rozaq dalam mushonnaf-nya
membawakan Bab ‘Seorang wanita mengunyah makanan untuk anaknya sedangkan dia
dalam keadaan berpuasa dan dia mencicipi sesuatu darinya‘. ‘Abdur Rozaq
membawakan beberapa riwayat di antaranya dari Yunus, dari Al Hasan Al Bashri,
ia berkata,
رَأَيْتُهُ يَمْضَغُ لِلصَّبِي
طَعَامًا وَهُوَ صَائِمٌ يَمْضَغُهُ ثُمَّ يُخْرِجُهُ مِنْ فِيْهِ يَضَعَهُ فِي
فَمِ الصَّبِي
“
Aku melihat Yunus mengunyah
makanan untuk anak kecil -sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa-. Beliau
mengunyah kemudian beliau mengeluarkan hasil kunyahannya tersebut dari
mulutnya, lalu diberikan pada mulut anak kecil tersebut.”
[9]
7.
Bercelak dan tetes mata
Bercelak dan tetes mata tidaklah
membatalkan puasa
[10].
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Pendapat yang lebih kuat adalah hal-hal ini
tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah bagian dari agama yang perlu
sekali kita mengetahui dalil khusus dan dalil umum. Seandainya perkara ini
adalah perkara yang Allah haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa,
tentu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada
kita. Seandainya hal ini disebutkan oleh beliau
shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tentu para sahabat akan menyampaikannya pada kita sebagaimana
syariat lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada satu orang ulama pun menukil
hal ini dari beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hadits shohih,
dho’if,
musnad (bersambung sampai Nabi) ataupun
mursal (sanad di atas tabi’in
terputus), dapat disimpulkan bahwa beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal). Sedangkan hadits yang menyatakan
bahwa bercelak membatalkan puasa adalah hadits yang
dho’if (lemah).
Hadits tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya, namun selain beliau
tidak ada yang mengeluarkannya. Hadits tersebut juga tidak terdapat dalam
musnad Ahmad dan kitab referensi lainnya.”
[11]
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
لَا بَأْس بِالْكُحْلِ لِلصَّائِمِ
“
Tidak mengapa bercelak untuk
orang yang berpuasa.”
[12]
8.
Mandi dan menyiramkan air di kepala untuk membuat segar
Bukhari membawakan Bab dalam
kitab shohihnya ‘Mandi untuk orang yang berpuasa.’ Ibnu Hajar berkata,
“Maksudnya adalah dibolehkannya mandi untuk orang yang berpuasa.
Az Zain ibnul Munayyir berkata
bahwa mandi di sini bersifat mutlak mencakup mandi yang dianjurkan, diwajibkan
dan mandi yang sifatnya mubah. Seakan-akan beliau mengisyaratkan tentang
lemahnya pendapat yang diriwayatkan dari ‘Ali mengenai larangan orang yang
berpuasa untuk memasuki kamar mandi. Riwayat ini dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq,
namun dengan sanad dho’if. Hanafiyah bersandar dengan hadits ini sehingga
mereka melarang (memakruhkan) mandi untuk orang yang berpuasa.”
[13]
Hal ini juga dikuatkan oleh
sebuah riwayat dari Abu Bakr bin ‘Abdirrahman, beliau berkata,
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- بِالْعَرْجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ
مِنَ الْعَطَشِ أَوْ مِنَ الْحَرِّ.
“
Sungguh, aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Al ‘Aroj mengguyur kepalanya
-karena keadaan yang sangat haus atau sangat terik- dengan air sedangkan beliau
dalam keadaan berpuasa. ”
[14]
Penulis Aunul Ma’bud mengatakan,
“Hadits ini merupakan dalil bolehnya orang yang berpuasa untuk menyegarkan
badan dari cuaca yang cukup terik dengan mengguyur air pada sebagian atau
seluruh badannya. Inilah pendapat mayoritas ulama dan mereka tidak membedakan
antara mandi wajib, sunnah atau mubah.”
[15]
9.
Menelan dahak.
Menurut madzhab Hanafiyah dan
Malikiyah, menelan dahak
[16]
tidak membatalkan puasa karena ia dianggap sama seperti air ludah dan bukan
sesuatu yang asalnya dari luar.
[17]
10.
Menelan sesuatu yang sulit dihindari.
Seperti masih ada sisa makanan
yang ikut pada air ludah dan itu jumlahnya sedikit serta sulit dihindari dan
juga seperti darah pada gigi yang ikut bersama air ludah dan jumlahnya sedikit,
maka seperti ini tidak mengapa jika tertelan. Namun jika darah atau makanan
lebih banyak dari air ludah yang tertelan, lalu tertelah, puasanya jadi batal.
[18]
11.
Makan, minum, jima’ (berhubungan badan) dalam keadaan lupa.
12.
Muntah yang tidak sengaja.
Demikian sajian tentang hal-hal
yang bukan merupakan pembatal puasa, namun masih dibolehkan ketika berpuasa.
Semoga bermanfaat.